Membaca karya Ming Zeng & Peter J. Williamson (Dragons At Your Door, How Chinese Cost Innovation Is Disrupting Global Competition, 2007) memang sempat membuat bulu kuduk berdiri. Bagaimana kita bisa membuat barikade yang solid untuk membendung “naga-naga” itu? Mereka bukan lagi berdiri di depan pintu dan mengetuk.
Tapi niscaya juga bakal menggedor dan mendobrak pintu-pintu kita, lalu menerobos masuk. Dan itu bukan akan terjadi, untuk banyak kasus bahkan sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Selain menerobos masuk lewat produk, naga-naga itu—kalau perlu—juga akan masuk lewat merger & acquisitions. Ratusan perusahaan di Eropa dan Amerika sudah jadi menu sarapan, lunch, dan dinner mereka.
Debut para naga ini di antaranya: Wanxiang (komponen otomotif) yang sedang mengincar Deplhi dan juga berambisi untuk membangun mobil dengan brand-nya sendiri, BYD yang merupakan produsen rechargable battery nomor 2 di dunia serta China International Marine Containers (CIMC) Group, yang sudah jadi nomor 1 dunia dalam soal volume sejak tahun 1996 lalu dengan 55% porsi pasar kontainer perkapalan dunia.
Lalu ada Shanghai Zhenhua Port Machinery Company (ZPMC), yang menguasai 54% market share dunia untuk cranes di pelabuhan. Dan Pearl River Piano, yang merebut 15% pasar Amerika Utara (dan 40%-nya adalah pangsa kelas atas) hanya dalam tempo 5 tahun.
Jika perusahaan pesaing didukung oleh pemerintah negara asalnya, memang akan membuat medan pertempuran—rasanya—jadi berat sebelah. Namun itulah kenyataan yang dihadapi oleh perusahaan Indonesia yang berniat go global.
Lalu bagaimana? Berhenti bertindak dan menangisi nasib? Tentu tidak! Memang Indonesia Inc. masih jauh dari kenyataan. Berhadapan dengan China Inc atau Singapore Inc bukan soal gampang. Namun perusahan lokal Indonesia tidak bisa tinggal diam. Kita mesti berubah, atau mati (change or die!). Mari hadapi kenyataan, confronting the brutal-facts, demikian saran Jim Collins untuk menjadi Good to Great company.
Dengan kondisi yang kita punya saat ini, para pebisnis Indonesia mesti mengasah nalar manajemen bisnis menjadi radar screen yang peka menangkap sinyal-sinyal perubahan global yang terjadi. Disiplin untuk terus melakukan analisis lingkungan bisnis global, serta tak hentinya bertanya apa relevansi semua perubahan itu terhadap organisasi, menjadi imperatif.
Keterampilan menggunakan pelbagai alat-alat manajemen mutakhir (seperti analisa PEST, Porter 5 Forces, TOWS, Value Net, Priority Matrix, Value Maps, dan lain-lain) perlu terus diasah lewat pembiasaan praktik manajemen sehari-hari para eksekutifnya. Disiplin manajerial ini niscaya membawa kompetensi organisasional yang mampu mendeteksi peluang-peluang global yang—jika dieksekusi dengan strategi yang tepat—bisa memperkuat model bisnis (revenue-cost-profit) perusahaannya.
Tidak ada jalan pintas! Disciplined people, disciplined thought, and disciplined action (Jim Collins, 2001), yang menjelma menjadi budaya disiplin itulah yang kita perlukan.
Jika kita simak sungguh-sungguh hasil studi mendalam Zeng & Williamson tentang kisah sukses China dengan kiat Cost Innovativeness-nya bisa menguasai pasaran global adalah lantaran mereka disiplin dan cekatan membaca peta perubahan situasi global.
Apa yang katakan Thomas Friedman: The World Is Flat, oleh karena didorong oleh teknologi, dunia jadi semakin datar. “Playing field”-nya menjadi seimbang buat mereka yang disiplin untuk mengabsorb global-knowledge yang tersaji bagi siapa saja lewat infrastruktur teknologi informasi.
“The second reason is that beyond their brains and brawn, these new workers have access to an ever-increasing proportion of the world’s accumulated knowledge and technology.” Demokrasi informasi global! Dipicu oleh kesempatan untuk mengakses dan menyerap teknologi baru inilah maka produktivitas di China meningkat 17% per tahun sejak 1995 (di luar layanan publik yang langsung diberikan oleh negara).
Banyak perusahan global (di antaranya P&G, IBM, Boeing), setelah tahu tidak akan mampu “melawan” para naga ini di kancah global, mereka putar arah dengan strategi kolaborasi untuk ikut memanfaatkan keunggulan daya saing inovasi biaya dengan masuk ke China dan sekaligus menggandeng partner-partner yang pas untuk bersama-sama bertempur di pasaran global dari China.
Yang pasti, kesempatan yang muncul akibat dunia yang semakin datar juga berlaku buat para pebisnis Indonesia. Seberapa pekakah radar kita menangkap peluang dan bukan cuma terbentur dengan ancaman? (Marketing.co.id)
Filed in: Andre Wenas, Headline, Newsticker, Seputar Marketing
Tapi niscaya juga bakal menggedor dan mendobrak pintu-pintu kita, lalu menerobos masuk. Dan itu bukan akan terjadi, untuk banyak kasus bahkan sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Selain menerobos masuk lewat produk, naga-naga itu—kalau perlu—juga akan masuk lewat merger & acquisitions. Ratusan perusahaan di Eropa dan Amerika sudah jadi menu sarapan, lunch, dan dinner mereka.
Debut para naga ini di antaranya: Wanxiang (komponen otomotif) yang sedang mengincar Deplhi dan juga berambisi untuk membangun mobil dengan brand-nya sendiri, BYD yang merupakan produsen rechargable battery nomor 2 di dunia serta China International Marine Containers (CIMC) Group, yang sudah jadi nomor 1 dunia dalam soal volume sejak tahun 1996 lalu dengan 55% porsi pasar kontainer perkapalan dunia.
Lalu ada Shanghai Zhenhua Port Machinery Company (ZPMC), yang menguasai 54% market share dunia untuk cranes di pelabuhan. Dan Pearl River Piano, yang merebut 15% pasar Amerika Utara (dan 40%-nya adalah pangsa kelas atas) hanya dalam tempo 5 tahun.
Jika perusahaan pesaing didukung oleh pemerintah negara asalnya, memang akan membuat medan pertempuran—rasanya—jadi berat sebelah. Namun itulah kenyataan yang dihadapi oleh perusahaan Indonesia yang berniat go global.
Lalu bagaimana? Berhenti bertindak dan menangisi nasib? Tentu tidak! Memang Indonesia Inc. masih jauh dari kenyataan. Berhadapan dengan China Inc atau Singapore Inc bukan soal gampang. Namun perusahan lokal Indonesia tidak bisa tinggal diam. Kita mesti berubah, atau mati (change or die!). Mari hadapi kenyataan, confronting the brutal-facts, demikian saran Jim Collins untuk menjadi Good to Great company.
Dengan kondisi yang kita punya saat ini, para pebisnis Indonesia mesti mengasah nalar manajemen bisnis menjadi radar screen yang peka menangkap sinyal-sinyal perubahan global yang terjadi. Disiplin untuk terus melakukan analisis lingkungan bisnis global, serta tak hentinya bertanya apa relevansi semua perubahan itu terhadap organisasi, menjadi imperatif.
Keterampilan menggunakan pelbagai alat-alat manajemen mutakhir (seperti analisa PEST, Porter 5 Forces, TOWS, Value Net, Priority Matrix, Value Maps, dan lain-lain) perlu terus diasah lewat pembiasaan praktik manajemen sehari-hari para eksekutifnya. Disiplin manajerial ini niscaya membawa kompetensi organisasional yang mampu mendeteksi peluang-peluang global yang—jika dieksekusi dengan strategi yang tepat—bisa memperkuat model bisnis (revenue-cost-profit) perusahaannya.
Tidak ada jalan pintas! Disciplined people, disciplined thought, and disciplined action (Jim Collins, 2001), yang menjelma menjadi budaya disiplin itulah yang kita perlukan.
Jika kita simak sungguh-sungguh hasil studi mendalam Zeng & Williamson tentang kisah sukses China dengan kiat Cost Innovativeness-nya bisa menguasai pasaran global adalah lantaran mereka disiplin dan cekatan membaca peta perubahan situasi global.
Apa yang katakan Thomas Friedman: The World Is Flat, oleh karena didorong oleh teknologi, dunia jadi semakin datar. “Playing field”-nya menjadi seimbang buat mereka yang disiplin untuk mengabsorb global-knowledge yang tersaji bagi siapa saja lewat infrastruktur teknologi informasi.
“The second reason is that beyond their brains and brawn, these new workers have access to an ever-increasing proportion of the world’s accumulated knowledge and technology.” Demokrasi informasi global! Dipicu oleh kesempatan untuk mengakses dan menyerap teknologi baru inilah maka produktivitas di China meningkat 17% per tahun sejak 1995 (di luar layanan publik yang langsung diberikan oleh negara).
Banyak perusahan global (di antaranya P&G, IBM, Boeing), setelah tahu tidak akan mampu “melawan” para naga ini di kancah global, mereka putar arah dengan strategi kolaborasi untuk ikut memanfaatkan keunggulan daya saing inovasi biaya dengan masuk ke China dan sekaligus menggandeng partner-partner yang pas untuk bersama-sama bertempur di pasaran global dari China.
Yang pasti, kesempatan yang muncul akibat dunia yang semakin datar juga berlaku buat para pebisnis Indonesia. Seberapa pekakah radar kita menangkap peluang dan bukan cuma terbentur dengan ancaman? (Marketing.co.id)
Filed in: Andre Wenas, Headline, Newsticker, Seputar Marketing
0 ulasan :
Post a Comment
terima kasih karena berkunjung di halaman kami...