Cara lainnya untuk
mempermudah masyarakat melakukan kontrol, adalah dengan membuka setiap
penggunaan APBD DKI melalui website Pemprov DKI. Penggunaan sistem
online juga diterapkan untuk membenahi pelayanan publik yang rawan
korupsi, termasuk sektor penerimaan pajak hotel, pajak restoran,
reklame, dan parkir. Selain cara-cara tersebut, Jokowi pun menjalankan
ritual yang biasa ia lakukan: blusukan. "Saya adakan pertemuan dengan
SKPD seminggu sekali. Saya berada di sini (kantor) hanya dua jam saja,
sisanya di lapangan. Jadi controlling terus jalan. Saya juga sudah
menyuruh SKPD untuk turun ke lapangan, karena semua pekerjaan itu harus
dikontrol jangan dilepas.
Kepada wartawan Integrito, gubernur
yang lebih populer disapa Jokowi ini, mengurai alasan, mengapa dia
mewantiwanti bawahannya agar jangan pernah mencoba "bermain-main" dengan
anggaran DKI. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di Balai Kota
dalam suasana penuh keakraban tersebut.
Kontrol terbaik adalah dari masyarakat. Tak ada jalan lain, kecuali
melalui transparansi dan peran serta publik. Langkah ini dipilih oleh
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk memperbaiki manajemen kontrol
yang selama ini menjadi titik lemah pemerintahan. Gubernur yang lahir di
Surakarta, 21 Juni 1961, ini pun mengajak warga DKI untuk ikut
mengawasi pemakaian dana APBD DKI Jakarta 2013 yang mencapai Rp49,9
triliun, dengan menempelkan poster-poster rincian APBD di papan
pengumuman setiap kelurahan, RT, dan RW.
Mengenai keterbukaan anggaran Pemprov DKI, apa yang melatarbelakangi?
Kalau ini sifatnya adalah masalah manajemen. Ada manajemen perencanaan,
manajemen organisasi, dan manajemen kontrol. Kalau sebuah kegiatan itu
tidak ada manajemen kontrol yang baik, kita akan kesulitan mendapatkan
produk yang benar. Kalau melihat kegiatan di DKI ada sekitar 57 ribu
item kegiatan. Jika manajemen kontrolnya hanya diserahkan kepada
inspektorat, BPK, dan BPKP, saya kira akan kesulitan. Sehingga yang
paling benar adalah manajemen pengawasan langsung dari publik. Caranya
seperti apa? Ya, seperti yang telah dilakukan, yaitu dengan memampang
secara detail di website.
Sedangkan bagi masyarakat yang tidak
berkesempatan mengakses internet, kami sediakan poster yang dipasang di
RW, kelurahan, dan kecamatan. Poster yang ditempel adalah rincian
detail, seperti jenis kegiatan, volume, jumlah anggaran. Jika ada
pelanggaran, masyarakat juga ditunjukkan ke mana harus melapor. Menurut
saya proses pengawasan publik semacam ini efektif. Paling tidak meskipun
masyarakat tidak mengawasi, namun yang melakukan kegiatan tetap akan
berpikir bahwa mereka diawasi. Jadi, poinnya adalah, agar publik bisa
langsung mengawasi.
Bagaimana teknisnya?
Jika ada pengaduan dari masyarakat, mereka bisa langsung menghubungi ke
nomor kontak yang tertera di poster tersebut. Setelah pengaduan masuk,
akan langsung didistribusikan ke SKPD yang bersangkutan. Setelah itu
langsung diproses ke dalam meeting, lalu ditindaklanjuti oleh SKPD.
Memang, dari laporan yang masuk, hanya sekitar 50-60% yang bisa
ditindaklanjuti. Tetapi, hal ini memang baru permulaan. Dan, ini adalah
tahapan paling tidak kita butuh proses. Karena ada juga staf yang shock,
kaget, tapi memang ini harus dimulai. Untuk itu, memang tidak ada kata
tidak siap. Mau tidak mau, seluruh staf yang ada di DKI Jakarta harus
siap dengan ini. Mereka harus siap ketika ada yang bertanya, mengenai
kegiatan yang ada di wilayah DKI. Karena, memang sudah ditempel dan
publik sudah tahu. Memang, untuk menilai efektivitasnya, masih terlalu
dini.
Karena program ini baru berjalan dua bulan. Realisasinya
pun, sekarang baru mulai tahap lelang. Tapi mengenai pengaduan dari
masyarakat, saya lihat cukup menggembirakan. Paling tidak, masyarakat
bisa mengetahui, berapa anggaran di kelurahan masing-masing.
Bagaimana dengan anggaran di bidang selama ini dikenal rentan kecurangan, misalnya pengadaan barang dan jasa?
Kita sudah menerapkan e-procurement. Tahun ini sudah 100%. Selain itu,
yang juga diterapkan adalah pajak online, restoran, hiburan, hotel,
parkir, dan e- ticketing. Semua sudah dimulai. Karena kalau tidak, kapan
lagi? Walaupun di bawahnya masih belum optimal, tetapi memang harus
berjalan. Kita akan awasi terus, sehingga nantinya akan menjadi
kebiasaan. Kalau sudah terbiasa, maka akan berjalan dengan sendirinya.
Ini kan, hanya membiasakan yang tadinya tidak online menjadi online.
E-ticketing, misalnya, sudah dimulai sejak Februari. Salah satunya,
tiket Transjakarta. Daripada membawa uang berkarungkarung, tentu lebih
efektif dengan e-ticketing. Sambil berjalan, hal ini terus kita lakukan
sosialisasi kepada publik. Dan sekarang ini, meski baru 20-30%, tapi
memang harus dimulai. Lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan.
Apakah semua itu dalam rangka manajemen kontrol?
Ya, keterbukaan ini dalam rangka manajemen kontrol, termasuk rekrutmen
SDM, dimulai dari bawah sampai ke atas. Dari lurah sampai camat. Ide ini
datang dari pemikiran bahwa jangan sampai ada tuduhan lurah dan camat
dijadikan sebagai kendaraan/alat politik gubernurnya. Tidak demikian,
karena semua itu terbuka. Saya tidak ikut dalam proses rekrutmen. Hanya
pada proses akhirnya, saya tahu.
Pihak yang terkait, di
antaranya assessment dari Mabes Polri, akademisi, dan konsultan.
Pokoknya komplit. Kami juga akan menerima pengaduan terhadap calon
seleksi tersebut mengenai track record-nya. Lha, ini kita kan meniru
KPK.
Bagaimana tingkat resistensi dari kalangan internal dan sejauh mana resistensi itu mempengaruhi?
Tidak ada. Paling tidak yang langsung kepada saya. Sekarang mereka
sudah tertawa-tawa. Menurut saya yang paling bagus itu ada di pembenahan
manajemen, pembenahan sistem, karena manusia mengikuti sistem. Jika
dipaksa mengikuti sistem, nanti akan menjadi sebuah kebiasaan. Yang
melatarbelakangi ini semua adalah efisiensi sistem di segala bidang.
Efisiensi dalam arti mendapatkan pejabatpejabat yang baik dan
menyelesaian pekerjaan menjadi baik. Juga, di bidang anggaran,
keborosan-keborosan dan penyimpangan bisa dihindari. Apalagi APBD DKI
Jakarta besar sekali, Rp50 triliun per tahun.
Bagaimana jika ditemukan penyimpangan?
Jika ditemukan penyimpangan di lapangan itu sudah bukan ranah saya,
tapi masuk wilayah hukum. Urusan saya hanya manajemen kontrol, hanya
mengingatkan. Tapi kalau sudah masuk ke sana, wilayahnya sudah berbeda.
Saya memang tidak pernah berbicara kepada pegawai, agar jangan korupsi.
Yang saya katakan, sistem ini harus diikuti dan dijalankan. Itu saja.
Manajemen saya harus diikuti. Silakan, jika ingin mencoba korupsi,
tetapi itu sudah bukan menjadi wilayah saya, karena itu sudah masuk
wilayah hukum.
link
sumber