dr.Kurtubi anak kelahiran kediri Lombok barat. NTB,
SEKOLAH: SDN 1 KEDIRI, LOBAR. SMPN-1 Mataram. SMAN-1 Mataram.
melanjutkan S1 ke:
UI - Universitas Indonesia Jurusan
Management, terus ke luar negeri::
Mastère Spécialisé · Petroleum Economics · Rueil-Malmaison
gelar Phd di :
PhD · Golden, Colorado
VISI DAN MISI
VISI:
Indonesia sebagai negara Adidaya yang maju, sejahtera, adil, aman dan di hormati bangsa lain.
MISI:
Perubahan dan Restorasi Tata Kelola Sumber Daya
Alam, Khususnya migas, energi dan mineral agar sesuai dengan Pasal 33
UUD 1945 untuk sebesar besar kemakmuran rakyat
MEMPERJUANGKAN:
- Kekayaan alam migas, energi dan mineral dikuasai dan
dimiliki oleh negara melalui Perusahaan negara untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi "double digit"
- Perusahaan Asing/Swasta di hormati hak-haknya sebagai
"Petani Penggarap" (Kontraktor dari Perusahaan negara) dan bukan sebagai
Pemilik cadangan
- Perusahaan negara diwajibkan mengelola kekayaan alam migas, energi dan mineral secara efisien, transparant dan bebas korupsi
- Perusahaan negara diwajibkan untuk mengumpulkan dana sebesar besarnya bagi negara, termasuk dengan memonetasi cadangan
- Harga BBM, gas, listrik dan pupuk yang terjangkau (dibawah harga pasar) bebas dari subsidi
- Memperjuangkan suara/usulan/pendaapat dari Kostituen sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
- Memperjuangkan kepentingan daerah penghasil migas dan tambang
Migas masih merupakan sumber penerimaan devisa yang signifikan meski
angkanya secara relatif terus merosot. Saat ini nilai total impor migas
sudah melampaui nilai total ekspor, alias sudah terjadi defisit.
Untuk 2012, hasil devisa ekspor migas mencapai US$36.9 miliar,
sedangkan 2011 mencapai sekitar US$41 miliar. Berarti ada penurunan
sekitar 11%. Penurunan terjadi karena anjloknya produksi (lifting)
minyak. Di lain pihak impor migas meningkat karena lonjakan konsumsi
dalam negeri. Pada 2012, nilai impor migas sekitar US$42.6 miliar.
Ujungnya adalah defisit perdagangan migas US$5.6 miliar pada 2012. Ini
pertama kali terjadi dalam sejarah perminyakan nasional.
Kondisi ini berpangkal dari kesemrawutan UU Migas. Mengadopsi pola
"Business to Government (B to G)", BP Migas (kini SKK Migas) mewakili
pemerintah berkontrak langsung dengan perusahaan asing. Inilah modus
yang memicu rendahnya lifting minyak, membengkaknya defisit migas, dan
terkikisnya kedaulatan negara. Ke depan perlu dilakukan perubahan dan
restorasi menuju sistem tata kelola yang efisien, investor friendly dan
konstitusional.
Defisit migas yang besar menimbulkan kekhawatiran serius karena
berdampak langsung antara lain pada indikator ekonomi makro, seperti
nilai tukar rupiah. Tak heran muncul langkah penyempurnaan, antara lain
dengan pengaturan kembali devisa hasil ekspor (DHE), khususnya yang
berasal dari ekspor migas.
DHE Migas yang jumlahnya relatif besar, seyogianya bisa mendukung
manajemen devisa nasional yang tangguh. Tapi yang terjadi sejauh ini DHE
migas masih disimpan di bank-bank asing di luar negeri sehingga 'tidak
terjangkau' oleh Bank Indonesia.
Bank Indonesia sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia, PBI
No.13/20/2011 yang mewajibkan semua perusahaan di Indonesia untuk
menyimpan dana transaksi ekspornya melalui bank devisa nasional. Khusus
di bidang migas, kewajiban tertuang dalam PBI No.14/17/2012 dan PBI
No.14/25/2012.
Batas akhir penyimpanan DHE adalah 30 Juni 2013. Apabila dilanggar,
menurut SKK Migas, maka ada risiko penghentian kegiatan usaha.
Meski tujuannya bagus, di sini perlu kehati-hatian. Ada risiko
perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia atas dasar
Production Sharing Contract (PSC), kini Kontrak Kerja Sama (KKS), dapat
membawa kasus ini ke arbitrase internasional. Pasalnya, di dalam kontrak
(PSC), masalah yang terkait dengan produksi/ekspor migas bagian
kontraktor (entitlement contractor), sepenuhnya adalah hak kontraktor/
perusahaan asing.
Dengan pola "B to G", di mana pemerintah melalui SKK Migas yang
berkontrak, maka otomatis pemerintah terikat kontrak (binding), sehingga
pemerintah dituntut untuk menaati kesucian kontrak.
Boleh jadi, jika pemerintah men-suspend perusahaan asing yang tidak
tunduk pada Peraturan BI, maka yang akan berperkara di pengadilan
arbitrase adalah pemerintah. Ini sangat berisiko mengingat semua aset
negara di luar negeri (pesawat Garuda, Gedung KBRI, rekening Bank, dan
lain-lain) bisa disita. Soalnya, SKK Migas yang menandatangani kontrak
merupakan lembaga yang asetnya menjadi satu/melekat dengan aset
pemerintah.
Sebaiknya, sebelum pemerintah dan BI 'memaksa' perusahaan minyak asing
untuk menaruh hasil devisa ekspor migas di bank lokal, SKK Migas
dilikuidasi dulu ke Perusahaan Negara. Persisnya, perusahaan negara yang
asetnya terpisah berdasarkan UU dan dalam kerjanya berkontrak langsung
dengan perusahaan minyak asing. Dengan begini, posisi pemerintah berada
di atas kontrak, sehingga kedaulatan tetap terjaga. Pemerintah dan BI
pun bisa leluasa mengeksekusi kebijakan tanpa harus menunggu/meminta
persetujuan perusahaan asing.