TRIBUNNEWS,COM-JAKARTA—Sejak kemarin, Rabu (25/7/2012), tempe dan tahu, makanan tradisional Indonesia di wilayah Jabodetabek menghilang dari pasaran.
Rencananya, hingga tiga hari kedepan makanan yang hampir semua orang Indonesia mengenalnya ini akan tidak menjumpai di pasar-pasar.Koperasi Perajin Tempe tahu Indonesia (KOPTTI) Jabodetabek serempak melakukan aksi mogok produksi mulai hari ini hingga 27 Juli mendatang.
Aksi ini diambil untuk menuntut keseriusan pemerintah menanggulangi gejolak harga bahan baku tempe, yakni kedelai yang meroket dari harga Rp 5.500 menjadi Rp 8.200 per kilogram kini.
Pangan lokal yang hak patennya dimiliki negara luar ini, ternyata sumber bahan bakunya, mayoritas berasal dari luar negeri. Bukan dipenuhi dari dalam negeri. Tidak lebih dari lebih dari 60 persen bahan bakunya, diimpor dari negera lain, termasuk Amerika dan Cina.
"Indonesia 60 persen dari kebutuhan kedelai dari luar negeri,” ungkap Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi saat di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (25/7/2012).
Bayu menjelaskan, Indonesia baru bisa menghasilkan 800.000 ton produksi kedelai dalam negeri. Itu berarti sekitar 1,2 juta ton kedelai masih diimpor.
Tingginya permintaan produk turunan kedelai ternyata tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Setiap tahun tidak kurang dari 2,4 juta ton kedelai di konsumsi masyarakat. Akibatnya, serbuan kedelai impor semakin deras membanjiri Indonesia.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun ini Indonesia banyak impor kedelai dari lima negara. Pertama dari China sebanyak 281,8 ton kedelai dengan nilai US$ 279 ribu.
Kemudian, kedelai asal negara di Eropa Timur, Ukraina mencapai 738 ton dengan nilai US$ 370 ribu.Selanjutnya impor kedelai dari Kanada sebanyak 1.500 ton dengan nilai US$ 887,4 ribu. Dari Malayasia sebanyak 26 ribu ton kedelai dengan nilai US$ 20,8 juta. Serta dari Amerika Serikat sebanyak 721,1 ribu ton kedelai dengan nilai US$ 401,6 juta.
Bercermin pada janji pemerintah pada tahun 2008 lalu, ditargetkan 2014 Indonesia akan swasembada kedelai. Namun, atas target tersebut banyak pihak menilai hal itu tidak realistis dan sulit tercapai.
“Swasembada kedelai 2014. Tapi kita lihat tahun demi tahun tidak ada peningkatan produksi kedelai lolal. Pemerintah tidak memberikan instrumen dan insentif buat petani. Kalau melepas demikian saja kepada petani tanpa memberikan insentif, petani tidak bisa melakukan itu,” ungkap Ketua Koperasi Perajin Tempe tahu Indonesia (KOPTI) Jakarta SelatanSutaryo kepada Tribun, Jakarta, Selasa (24/7/2012).
Dirinya mempertanyakan, terkait aplikasi nyata dari janji swasembada kedelai yang pernah disampaikan pemerintah tersebut. Dalam rencana kerja Kementerian Pertanian (Kementan), untuk mencapai swasembada kedelai pada 2014, maka produksi harus mencapai 2,7 juta ton.
Namun, upaya swasembada ini masih terkendala masalah lahan. Saat ini Kementan sedang mengupayakan menambah lahan yang diinventarisasi oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kementerian Pertanian dan BPN sepakat untuk meretribusi lahan untuk kebutuhan pertanian.Dalam satu bulan ke depan, Kementan bersama BPN akan mengkaji lahan mana yang bisa didistribusikan kepada petani.
Jika tak kunjung terealisasi, maka akan diterapkan pola inti-plasma. Menteri Pertanian, Suswono juga punya rencana lain. Untuk menggenjot produksi kedelai, maka akan dilakukan dengan sistem tumpang sari. Potensi penanaman sistem tumpang sari ini bisa setara perluasan lahan 200 ribu hektare.
Musim kemarau di anggap cocok untuk mulai menanam kedelai. Agar tidak bergantung pada penambahan lahan, Kementan akan mengupayakan peningkatan produktivitas dari 1,3 ton per hektare menjadi 1,54 ton per hektare.
Lalu pemberian bantuan benih unggul, meningkatkan penggunaan pupuk, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. "Dalam dua tahun masih memungkinkan untuk swasembada," katanya.
0 ulasan :
Post a Comment
terima kasih karena berkunjung di halaman kami...