Monday, May 30, 2011

MASYARAKAT SIPIL NTB SIAPKAN GUGATAN TERHADAP MENKEU


Mataram, 30/5 (ANTARA) - Warga Nusa Tenggara Barat yang tergabung dalam Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat, tengah menyiapkan gugatan terhadap Menteri Keuangan Agus Martowardojo, terkait pembelian tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara jatah divestasi 2010.
     Koordinator Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat Nusa Tenggara Barat (NTB) Basri Mulyani, di Mataram, Senin, mengatakan, sebelum gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pihaknya lebih dulu mengirim notifikasi kepada Menteri Keuangan (Menkeu).
     "Notifikasi itu sudah dikirim tanggal 27 Mei lalu, sebagai syarat formil untuk dapat diterimanya gugatan oleh PN Jakarta Pusat. Jawaban atas notifikasi itu yang ditunggu kemudian gugatan didaftarkan," ujarnya.
     Notifikasi itu berupa pernyataan singkat (mini notes) kepada pihak yang digugat sebelum penggugat melayangkan gugatan ke pengadilan atas sebuah kasus.
     Notifikasi mememuat jenis pelanggaran dan tuntutan yang spesifik yang menjadi dasar gugatan.
     Pemberitahuan tersebut juga harus dituangkan secara tertulis, baik kepada tergugat maupun kepada lembaga negara yang relevan terhadap pelanggaran Undang Undang.
     Basri mengatakan, pihaknya juga akan melayangkan gugatan "Citizen Law Suit" (CLS) terhadap Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan Newmont Mining Corporation (NMC) sebagai induk perusahaan.
     Gugatan yang akan segera didaftarkan di PN Jakarta Pusat itu berkaitan dengan tindakan pemerintah pusat melalui Menkeu yang membeli tujuh persen saham divestasi PTNNT menggunakan dana PIP.
     Para penggugat merupakan 20 orang warga NTB dari beragam profesi dan latar belakang yang secara langsung mengalami dampak dari operasionalisasi PTNNT dan keputusan Menkeu Agus Martowardojo yang membeli saham divestasi terakhir itu.
     Adapun tuntutan dalam gugatan itu yakni segera mengembalikan hak pengambilalihan tujuh persen saham PTNNT kepada pemerintah daerah NTB atau badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah daerah untuk diberikan kepada masyarakat NTB melalui program-program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
     Tuntutan berikutnya, yakni pengambilalihan tujuh persen saham PTNNT oleh Menkeu pada 6 Mei 2011 dinyatakan tidak sah dan tidak memilki kekuatan hukum yang tetap.
     Tuntutan lainnya yakni memerintahkan para tergugat meminta maaf kepada para penggugat melalui lima media cetak yaitu Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Pembaharuan  dan Jakarta Post dan tujuh media elektronik yaitu SCTV, TRANS TV, RCTI, INDOSIAR, METRO TV, TV One,  yang format dan isinya ditentukan oleh penggugat, selama tujuh hari berturut-turut.
     Sementara dasar gugatan "Citizen Law Suit" itu yakni tindakan para tergugat dalam proses pengambilalihan divestasi saham PTNNT tidak memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan kehidupan ekonomi, kedamaian masyarakat NTB pada umumnya dan para penggugat pada khususnya.
     "Malah, pengambilalihan saham tersebut dapat menimbulkan instabilitas keamanan nasional, kemiskinan ekonomi masyarakat, dan disintegrasi bangsa dan negara," ujarnya.
     Versi Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat NTB, kerugian materiil yang dapat dihitung atau dibandingkan adalah apabila pengambilalihan saham oleh masyarakat NTB maka peningkatan pertumbuhan masyarakat di NTB dapat sebanding dengan nilai investasi saham yang diambil senilai 246,8 juta dolar AS.
     Selain itu, tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat NTB dan peningkatan kehidupan yang lebih baik merupakan tindakan yang sewenang-wenang dari para tergugat.
     Kelompok masyarakat sipil NTB itu juga menyatakan bahwa, perbuatan para tergugat jelas-jelas melanggar bentuk perlindungan hak atas hidup yang layak, hak atas aman dan damai bagi para penggugat dan masyarakat NTBsebagai korban yang disebabkan oleh konflik vertikal dan horizontal ataupun kerusuhan yang terjadi sekian lama hingga saat ini.
     Selain itu, para tergugat diindikasi melanggar perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 28 I ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945, junto Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, junto Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, junto Pasal 11 butir 1 dan 2 International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR).
     Kovenan itu telah diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005, Mukadimah, Pasal 2 butir 3, dan Pasal 25 International Covenant on Civil and Politic Rights juga telah diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2006.
     Para tergugat juga dianggap melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kepastian hukum, asas persamaan, asas kejujuran dan keterbukaan (fair play), asas kepantasan dan kewajaran, dan asas pertanggungjawaban.
     Dugaaan pelanggaran lainnya yakni hak atas informasi, prinsip pengelolaan anggaran dan keuangan negara, prinsip "good governance", prinsip otonomi daerah beserta kewenangan pemerintahan daerah sesuai yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara.
     Berikut, pelanggaran atas pasal 10 ayat 1 dan 2 junto pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana perbuatan para tergugat tidak dapat mensinergiskan hubungan dan saling terkait antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sebagai suatu kesatuan sistem pemerintahan dalam hal hak pembagian urusan pemerintahan.
     Penggugat juga menilai tegrugat telah menggunakan dana PIP sebagai pengeluaran kas negara, karena PIP merupakan badan instansi pemerintah yang salah satu pendanaannya bersumber dari APBN.
     "Hal ini merupakan pemborosan keuangan negara yang seharusnya dapat diperuntukan untuk program peningkatkan taraf kehidupan ekonomi khususnya hak atas kehidupan yang layak, hak atas aman dan damai bagi masyarakat NTB," ujar Basri yang juga aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) NTB itu. (*)

sumber:  www,antaramataram.com

0 ulasan :

Post a Comment

terima kasih karena berkunjung di halaman kami...