Friday, August 9, 2013

BIODATA. Dr.Kurtubi darah sasak menjadi salah seorang pakar ENERGI asal Kdiri LOBAR

dr.Kurtubi anak kelahiran kediri Lombok barat. NTB,

SEKOLAH: SDN 1 KEDIRI, LOBAR. SMPN-1 Mataram. SMAN-1 Mataram.

melanjutkan S1 ke:  UI - Universitas Indonesia Jurusan Management, terus ke luar negeri::
Mastère Spécialisé · Petroleum Economics · Rueil-Malmaison
 
gelar Phd di :

PhD · Golden, Colorado
 



VISI DAN MISI
 
VISI:
Indonesia sebagai negara Adidaya yang maju, sejahtera, adil, aman dan di hormati bangsa lain.

MISI:
Perubahan dan Restorasi Tata Kelola Sumber Daya Alam, Khususnya migas, energi dan mineral agar sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 untuk sebesar besar kemakmuran rakyat
MEMPERJUANGKAN:
  • Kekayaan alam migas, energi dan mineral dikuasai dan dimiliki oleh negara melalui Perusahaan negara untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi "double digit"
  • Perusahaan Asing/Swasta di hormati hak-haknya sebagai "Petani Penggarap" (Kontraktor dari Perusahaan negara) dan bukan sebagai Pemilik cadangan
  • Perusahaan negara diwajibkan mengelola kekayaan alam migas, energi dan mineral secara efisien, transparant dan bebas korupsi
  • Perusahaan negara diwajibkan untuk mengumpulkan dana sebesar besarnya bagi negara, termasuk dengan memonetasi cadangan
  • Harga BBM, gas, listrik dan pupuk yang terjangkau (dibawah harga pasar) bebas dari subsidi
  • Memperjuangkan suara/usulan/pendaapat dari Kostituen sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
  • Memperjuangkan kepentingan daerah penghasil migas dan tambang


Migas masih merupakan sumber penerimaan devisa yang signifikan meski angkanya secara relatif terus merosot. Saat ini nilai total impor migas sudah melampaui nilai total ekspor, alias sudah terjadi defisit.

Untuk 2012, hasil devisa ekspor migas mencapai US$36.9 miliar, sedangkan 2011 mencapai sekitar US$41 miliar. Berarti ada penurunan sekitar 11%. Penurunan terjadi karena anjloknya produksi (lifting) minyak. Di lain pihak impor migas meningkat karena lonjakan konsumsi dalam negeri. Pada 2012, nilai impor migas sekitar US$42.6 miliar. Ujungnya adalah defisit perdagangan migas US$5.6 miliar pada 2012. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah perminyakan nasional.

Kondisi ini berpangkal dari kesemrawutan UU Migas. Mengadopsi pola "Business to Government (B to G)", BP Migas (kini SKK Migas) mewakili pemerintah berkontrak langsung dengan perusahaan asing. Inilah modus yang memicu rendahnya lifting minyak, membengkaknya defisit migas, dan terkikisnya kedaulatan negara. Ke depan perlu dilakukan perubahan dan restorasi menuju sistem tata kelola yang efisien, investor friendly dan konstitusional.

Defisit migas yang besar menimbulkan kekhawatiran serius karena berdampak langsung antara lain pada indikator ekonomi makro, seperti nilai tukar rupiah. Tak heran muncul langkah penyempurnaan, antara lain dengan pengaturan kembali devisa hasil ekspor (DHE), khususnya yang berasal dari ekspor migas.

DHE Migas yang jumlahnya relatif besar, seyogianya bisa mendukung manajemen devisa nasional yang tangguh. Tapi yang terjadi sejauh ini DHE migas masih disimpan di bank-bank asing di luar negeri sehingga 'tidak terjangkau' oleh Bank Indonesia.

Bank Indonesia sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia, PBI No.13/20/2011 yang mewajibkan semua perusahaan di Indonesia untuk menyimpan dana transaksi ekspornya melalui bank devisa nasional. Khusus di bidang migas, kewajiban tertuang dalam PBI No.14/17/2012 dan PBI No.14/25/2012.

Batas akhir penyimpanan DHE adalah 30 Juni 2013. Apabila dilanggar, menurut SKK Migas, maka ada risiko penghentian kegiatan usaha.

Meski tujuannya bagus, di sini perlu kehati-hatian. Ada risiko perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia atas dasar Production Sharing Contract (PSC), kini Kontrak Kerja Sama (KKS), dapat membawa kasus ini ke arbitrase internasional. Pasalnya, di dalam kontrak (PSC), masalah yang terkait dengan produksi/ekspor migas bagian kontraktor (entitlement contractor), sepenuhnya adalah hak kontraktor/ perusahaan asing.

Dengan pola "B to G", di mana pemerintah melalui SKK Migas yang berkontrak, maka otomatis pemerintah terikat kontrak (binding), sehingga pemerintah dituntut untuk menaati kesucian kontrak.

Boleh jadi, jika pemerintah men-suspend perusahaan asing yang tidak tunduk pada Peraturan BI, maka yang akan berperkara di pengadilan arbitrase adalah pemerintah. Ini sangat berisiko mengingat semua aset negara di luar negeri (pesawat Garuda, Gedung KBRI, rekening Bank, dan lain-lain) bisa disita. Soalnya, SKK Migas yang menandatangani kontrak merupakan lembaga yang asetnya menjadi satu/melekat dengan aset pemerintah.

Sebaiknya, sebelum pemerintah dan BI 'memaksa' perusahaan minyak asing untuk menaruh hasil devisa ekspor migas di bank lokal, SKK Migas dilikuidasi dulu ke Perusahaan Negara. Persisnya, perusahaan negara yang asetnya terpisah berdasarkan UU dan dalam kerjanya berkontrak langsung dengan perusahaan minyak asing. Dengan begini, posisi pemerintah berada di atas kontrak, sehingga kedaulatan tetap terjaga. Pemerintah dan BI pun bisa leluasa mengeksekusi kebijakan tanpa harus menunggu/meminta persetujuan perusahaan asing.


 

0 ulasan :

Post a Comment

terima kasih karena berkunjung di halaman kami...