Wednesday, November 2, 2011

Kuasa dalam Industri Pariwisata Pulau Lombok

Saat ini pemerintah sedang giat dan semangat luar biasa untuk mengembangkan Pulau Lombok, NTB sebagai primadona baru pariwisata Indonesia. Proyek miliaran dolar Amerika untuk pembangunan infrastuktur dan perbaikan akses ke Pulau Lombok pun menjadi rangkaian agenda penting pemerintah Indonesia dari tahun 2007. Puncaknya adalah peresmian Bandara Internasional Lombok (BIL) dan resort Pantai Mandalika pada tanggal 1 Oktober 2011 yang dihadiri oleh Presiden Yudhoyono dan beberapa jajaran menterinya.
Agenda pembangunan nasional menempatkan Pulau Lombok ke dalam koridor 5, yaitu pembangunan daerah pusat ekonomi dengan potensi pariwisata dan pangan nasional. Oleh karena itu Menteri Keuangan Agus Martowardojo menghimbau pemerintah daerah Provinsi NTB untuk mengalokasikan APBN dan APBD untuk pembangunan fasilitas pariwisata yang memadai. Proyek pengembangan mega-industri wisata di Pulau Lombok antara lain adalah resort Pantai Mandalika, wisata desa adat, dan kampanye besar-besaran Pulau Komodo sebagai kandidat the New Seven Wonders dari Indonesia.
Dibalik kemegahan rencana pembangunan ataupun yang sudah direalisasikan di Provinsi NTB tersimpan ironi jika kita mengkaji dari perspektif masyarakat lokal. Walaupun proyek mega-industri pariwisata ini sudah berjalan dari tahun 2007 namun Provinsi NTB masih menempati kategori daerah kantong kemiskinan urutan ke-enam (21.55%) dari 32 provinsi di Indonesia (data diperoleh dari BPS pada bulan Mei 2011). Dari tahun 2009 di Pulau Lombok sendiri tercatat hampir mencapai jumlah 200.000 ribu warga dari 856.675 penduduk Lombok Tengah hidup dibawah garis kemiskinan (Kompas.com, 4/10/2011). Ketahanan pangan di provinsi ini juga lemah karena dengan kondisi lahan yang tandus. Akses pendidikan yang kurang dan angka pengangguran yang semakin tinggi dari tahun ke tahun membuat masyarakat Pulau Lombok sulit keluar dari kemiskinan.
Kondisi masyarakat yang belum makmur ini sebentar lagi akan dijejalkan dengan proyek industri pariwisata. Ambisi pemerintah untuk menjadikan Pulau Lombok dan pulau-pulau lain di Provinsi NTB sebagai primadona pariwisata pun semakin menjadi, terbukti dari program dan strategi yang sudah siap menginvansi kehidupan masyarakat lokal. Salah satu strategi yang dipakai pemerintah pusat maupun daerah adalah Gerakan Nasional Sadar Wisata yang dibangun dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Industri pariwisata sendiri mungkin saja bisa menjadi jalan keluar dari lingkaran kemiskinan. Dan mungkin saja pemerintah memang tahu yang benar-benar dibutuhkan masyarakat lokal Pulau Lombok. Namun bagaimana jika masyarakat lokal sendiri belum siap menghadapinya? Bukankah industri pariwisata membutuhkan kesiapan tidak hanya infrasturktur tetapi juga mental masyarakatnya untuk beramah tamah dalam menyambut wisatawan, terutama wisatawan asing. Bagaimana masyarakat lokal bisa memberikan keramahan kepada wisatawan jika invasi industri ini justru membuat mereka mengalami cultural shock dan malah menutup diri? Masalah inilah yang saya lihat dalam dua artikel yang dimuat di media cetak elektronik Kompas.com. Berangkat dari kecurigaan adanya hegemoni pemerintah dalam mengembangkan industri pariwisata di Pulau Lombok NTB saya mengkritisinya dengan memakai perspektif pembaca berita.
Artikel pertama, ‘Kurangnya Pemberdayaan Masyarakat Jadi Kendala Pariwisata’ (Kompas.com, 18/10/2011) menyoal masyarakat lokal yang kurang berartisipasi dalam promosi pariwisata yang digalang pemerintah.
Pemerintah yang diwakili oleh Firmansyah Rahim, Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenbudpar memandang kurangnya pemberdayaan masyarakat merupakan hambatan bagi perkembangan daerah pariwisata. Oleh karena itu digagaslah Gerakan Nasional Sadar Wisata yang diharapkan bisa membentuk masyarakat sadar wisata dan budaya yang bisa mendukung program pariwisata pemerintah. Gerakan Nasional Sadar Wisata akan secara langsung melibatkan masyarakat lokal untuk aktif mengembangkan potensi pariwisata daerahnya. Melalui gerakan ini pemerintah akan memberikan bantuan dana sosial sebesar 100-150 juta rupiah dan jasa bimbingan konsultan sadar wisata untuk membantu masyarakat lokal mengembangkan potensi pariwisata.
Menurut Firmansyah Rahim, lebih mudah memperbaiki infrasturktur dan akses ke Pulau Lombok dibandingkan dengan memberdayakan masyarakat lokal untuk siap menyambut wisatawan yang datang, justru masalah pemberdayaan masyarakat inilah yang tidak pernah selesai. Ia, melalui kutipannya, menjelaskan jika masyarakat menyambut wisatawan dengan melotot tidak akan membuat wisatawan mau datang lagi. Bisa disimpulkan bahwa pemerintah menaruh perhatian besar dalam hal pemberdayaan mental masyarakat lokal dalam menyambut wisatawan demi keberlangsungan proyek ini. Kurangnya kesediaan masyarakat untuk diberdayakan jelas menjadi masalah besar.
Alih-alih menjelaskan apa yang menyebabkan masyarakat lokal kurang berpartisipasi penulis berita lebih menjabarkan rencana implementasi Gerakan Nasional Sadar Wisata berikut metode-metode yang akan dipakai. Suara masyarakat lokal yang seharusnya ikut bicara didiamkan padahal merekalah yang menjadi seharusnya menjadi subjek aktif dalam pembicaraan. Suara mereka diwakili oleh pemerintah yang lebih menjabarkan panjang lebar soal rencana implementasi Gerakan Nasional Sadar Budaya sebagai solusi dari masalah yang masyarakat lokal. Suara yang bernegosiasi dengan solusi tersebut juga tidak dimunculkan. Masyarakat lokal didiamkan dan dianggap setuju dengan solusi yang diberikan.
Dilihat dari kepentingan pengembangan industri pariwisata ini masyarakat lokal ditempatkan pada klasifikasi yang menyandingkannya dengan wisatawan dilain sisi. Namun sayangnya masyarakat lokal sebagai owner potensi wisata kurang dirangkul oleh penulis berita untuk mendapatkan opini lain mengenai rencana pemberdayaan ini. Penulis berita lebih menitikberatkan pada program Gerakan Nasional Sadar Wisata pemerintah yang jelas-jelas di sektor pariwisata akan lebih memenangkan kepentingan wisatawan dan mencapai tujuan pemerintah.
Sebenarnya apa tujuan pemerintah dari pengembangan industri pariwisata ini? Tak lain adalah kepentingan ekonomi. Tak bisa disangkal lagi industri pariwisata menyumbang keuntungan besar untuk negeri ini. Indonesia sebagai salah satu surga wisata dunia dan kesuksesan industri pariwisata Pulau Bali menjadi wacana yang digunakan pemerintah untuk membangun potensi pariwisata di Pulau Lombok.
Apakah pemerintah sedang membentuk hegemoni industri pariwisata di negeri ini? Wacana keberhasilan pembangunan pariwisata Pulau Bali yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduknya menjadi iming-iming bagi masyarakat lokal untuk mau berpartisipasi membangun sektor pariwisata daerahnya sebaik mungkin, yang juga sesuai dengan tujuan ekonomi pemerintah. Absennya suara masyarakat lokal Pulau Lombok kembali menegaskan bahwa wacana tersebut sebenarnya diterima tanpa perlawanan oleh masyarakat.
Wacana ini dapat dideteksi dari perspektif yang ditunjukkan pemerintah melalui Gerakan Nasional Sadar Wisata. Gerakan ini menempatkan masyarakat lokal sebagai kelompok yang perlu disadarkan (kurang pemberdayaan) akan kepentingan pengembangan potensi pariwisata di daerahnya. Kata ‘pemberdayaan’ yang mengawali artikel ini adalah kata yang powerful, karena melibatkan posisi subjek dan objek, pihak mana yang berkuasa (melakukan pemberdayaan) dan pihak mana yang dikuasai (diberdayakan). Pemakaian kata ‘pemberdayaan’ digunakan untuk membangun wacana pemerintah bahwa kuasa atas potensi pariwisata ada di tangan pemerintah yang menempatkan masyarakat lokal berada dalam program pembangunan industri pariwisata tersebut.
Strategi pemberdayaan akan dilakukan secara otonomi, tidak sentralistik. Walaupun seperti yang diungkap Firmansyah pemberdayaan secara sentralistik cenderung lebih mudah daripada otonomi. Klasifikasi sentralistik/otonomi daerah membuat pemerintah pusat tidak bisa memberikan kontrol penuh dalam mengendalikan pemerintah daerah, dengan kata lain kuasa terbagi. Namun pemerintah pusat yang tetap memberikan arahan bagi pemerintah daerah untuk mendistribusikan APBD di sektor pariwisata demi kelancaran proyek industri ini.
Meskipun kuasa pemerintah terbagi, penulis berita tetap menyebutkan keberhasilan pemerintah menerapkan strategi pemberdayaan di beberapa daerah potensi pariwisata, seperti Bandung, Bali, Jogya, dan Bukittinggi. Strategi pemberdayaan terdapat tiga kriteria daerah yang akan diberikan bantuan pemberdayaan, yaitu daerah yang menjadi tujuan wisata karena daya tarik yang dimiliki dan mempunyai program homestay bagi wisatawan; daerah yang berada disekitar daerah potensi pariwisata dan siap mendukung industri pariwisata yang dikembangkan; dan daerah yang dilewati akses ataupun akomodasi menuju daerah potensi wisata. Kriteria ini menegaskan wacana pemerintah bahwa semua elemen daerah harus diberdayakan dan disinergikan. Proyek industri pariwisata ini bukanlah main-main, terdapat klasifikasi dan kriteria yang kuat dan mampu mendukung wacana pemerintah.
Tidak adanya porsi untuk masyarakat lokal dalam melakukan negosiasi atau bahkan penolakan atas strategi pemberdayaan semakin menegaskan kuasa pemerintah atas Gerakan Nasional Sadar Wisata. Melalui tulisan ini masyarakat lokal disituasikan menerima kebijakan pemerintah ini dengan wajar (tanpa ada diperlihatkan perlawanan) karena wacana pemberdayaan ini penting jika ingin daerah wisatanya maju dan kehidupan ekonominya berkembang.
Wacana yang sama dibandingkan dengan artikel kedua, ‘Warga Desa Sade Tak Berminat Bikin “Homestay”’ (Kompas.com, 18/10/2011). Artikel ini menyoal penolakan masyarakat adat Suku Sasak di Desa Sade yang menolak salah satu strategi Gerakan Nasional Sadar Wisata, yaitu homestay. Program homestay masuk dalam kriteria pertama strategi pemberdayaan yang dibahas dilain artikel namun ditulis oleh penulis berita dan di-publish dalam waktu yang sama.
Warga Desa Sade menolak homestay untuk wisatawan, terutama wisatawan mancanegara, karena pertimbangan akan sulitnya wisatawan beradaptasi dengan tradisi lokal mereka. Menurut saya penolakan ini adalah bentuk perlawanan dari masyarakat lokal untuk tidak sepenuhnya berada di dalam kuasa pemerintah.
Namun sayangnya lagi-lagi suara warga didiamkan dan ‘diwakili’ oleh pemerintah. Pembaca dibatasi pandangannya oleh wacana-wacana yang diajukan oleh pemerintah. Pembaca tidak bisa mengetahui apa alasan sebenarnya terhadap penolakan homestay oleh warga Desa Sade langsung dari warganya sendiri, bukan dari pemerintah yang jelas punya kepentingan lain.
Pemerintah mengapresiasi keteguhan warga Desa Sade dalam mempertahankan tradisi lokalnya. Namun ketika pemerintah kehilangan atau mengendurkan satu strategi ada strategi lain yang bisa tetap mempertahankan wacana eksplorasinya. Pemerintah berusaha mencari solusi lain (baca: antisipasi) jika terjadi perlawanan.
Pemerintah tetap ingin menjadikan Suku Sasak sebagai subjek (pelaku) dalam pariwisata, bukan hanya sebagai objek (tontonan). Jika homestay ditolak maka kerajinan tenun akan dijadikan bisnis pariwisata yang menjanjikan. Hal ini berarti eksploitasi kebudayaan sebagai nilai jual tinggi tetap menjadi prioritas pemerintah.
Dan sekali lagi, kalimat berhenti sampai disitu. Tidak ada opini warga desa yang dibangun. Suara mereka tenggelam dalam wacana pemberdayaan potensi daerah wisata maupun masyarakat adat sebagai komoditi industri pariwisata.
Wacana pemerintah dalam mengelola pariwisata di negeri ini tidak lepas dari pengaruh kapitalisme. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menggerus potensi pariwisata dan menjualnya kepada turis asing maupun domestik. Proses ‘penjualan’ pariwisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal dalam bentuk jasa pelayanan wisata terkadang miris terlihat. Karena ‘pemberdayaan’ ini menempatkan masyarakat lokal sebagai ‘yang sanggup melayani dengan maksimal’ apapun kebutuhan wisatawan sehingga mereka betah berlama-lama dan menghabiskan uangnya untuk pelesir. Bukankah ini terlihat sebagai bentuk neo-kolonial pemerintah kepada rakyatnya sendiri atau wisatawan kepada masyarakat lokal?

0 ulasan :

Post a Comment

terima kasih karena berkunjung di halaman kami...